Photobucket Ad here !!



Photobucket Copy diblog panjenengan, matur nuwun

Hasil belajar dari Blog Mas Rahman, Nuwun
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Product ...

Services ...

free hit counters
Bloomingdales Coupon

Visitors since Feb/26/2007
Other things Banner Pertama




www.flickr.com
This is a Flickr badge showing public photos from Griya Batik Nugraha Laweyan. Make your own badge here.

Other things ...







Minggu, 29 Juli 2007Atmosfer Glamor dari Solo Desa...

Sabtu, 04 Agustus 2007Nichepreneur Mereka memilih ...

Batik, Sang Primadona Berbagai teknik dan detail b...

Vision

Kampung Laweyan Membuka Diri Sumber : Republika.co...

Solo dalam Gambar

Belajar menyulam : Klik dibawah inihttp://jemarik...










Downloads
Technology News
Templates
Web Hosting
Articles
Games
Blogger
Google



www.flickr.com

Blogger

FinalSense

Amazon

Yahoo

Ebay

<$BlogDateHeaderDate$>
Minggu, 29 Juli 2007

Kemenangan Saudagar

Mengalahkan lawan tanpa bertempur Itulah puncak kemahiran


Tak ada data yang dipercayai benar-benar akurat tentang Sun Tzu, tapi ajarannya melampaui belasan abad, melintasi batas-batas benua. Strategi perang Napoleon, kepemimpinan Mao Tse-tung, taktik Ho Chi-minh, kejayaan ekonomi Jepang, dan kelihaian para CEO Asia abad ini adalah catatan sejarah tentang resep sang panglima perang.



Padahal, Sun Tzu bukanlah panglima yang penuh catatan kemenangan. Ia bahkan kalah oleh Fan Li, lawan yang unggul tidak saja di arena pertempuran, melainkan juga dalam perdagangan dan pertanian. Sun Tzu mengilhami dunia lebih karena risalah-risalahnya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Walau karya populernya bertajuk Seni Perang, Sun sejatinya bukanlah penggemar pertempuran. Ia berkata, ''Jenderal yang memenangkan setiap pertempuran bukanlah jagoan sejati. Membuat musuhmu kalah tanpa bertempur, itulah kuncinya.''

Sun mengakhiri karier kejenderalan dan menyelesaikan 82 bab risalahnya di kampung halaman. Ia mengkritik rajanya yang suka berperang. Pengepungan, kata dia, bisa berlangsung bertahun-tahun, sementara yang didambakan orang hanyalah satu hari kemenangan. Raja semacam ini, menurut Sun, hanyalah beban bagi rakyatnya, bukan peraih kemenangan.

''Dengan kekayaannya yang berlebih-lebihan dan pasukannya yang kelewat besar, penguasa menjadi terlalu bangga dan pejabatnya terlalu mewah, mereka merasa pasti menang dalam setiap pertempuran--dan karena itu mereka bakal menjadi pihak pertama yang hancur,'' kata Sun.

Sebaliknya, ia memuji sebuah klan yang memerintah secara adil bahkan tak memungut pajak. ''Bersahaja, memiliki sedikit serdadu, hidup hemat, dan memerintah secara bijak atas rakyat yang sangat banyak -- mereka ... akan selalu menang.''

Nasihat-nasihat Sun adalah kumpulan strategi manipulasi. Ia menulis, ''Umpanlah mereka dengan bayangan untung, bingungkan dan silaukan. Gunakanlah amarah untuk membuat mereka murka, rendah-hatilah agar mereka sombong. Letihkan mereka dengan jalan berputar-putar, bikin mereka bertengkar sendiri.''

Bagi Sterling Seagrave, wartawan yang menulis Para Pendekar Pesisir, bangsa Jepang adalah contoh besar kemenangan strategi Sun. Bukan kemenangan di Pearl Harbour atau kekuasaan di Asia Timur dan Tenggara sebelum 1945. Kemenangan yang ia maksud justru pascabom Hiroshima.

Jepang yang luluh lantak akhirnya menang melalui pembangunan ekonominya. Jepang kini unggul tanpa menembakkan peluru. Persis kata-kata Sun, ''Mengalahkan lawan tanpa bertempur, itulah puncak kemahiran.''

Penyamaran adalah kunci ajaran Sun. Seni perang baginya adalah seni bunglon. Nasihat utama dia adalah, ''Haluslah agar tak terlihat, misteriuslah agar tak teraba.'' Ajaran sang jenderal abad keenam ini menyita Barat karena mewarnai aspek penyamaran dan mistifikasi dalam kebudayaan Asia yang selama ini menjadi perintang mereka.

Sebagai ilmu dasar bagi banyak saudagar, strategi Sun mengalami simplifikasi sebagai ajaran untuk berbuat curang. Kaum Barat meminatinya karena putus asa atas ''kecurangan'' di Timur. Mereka terlalu terpukau pada salah satu kalimat Sun, ''Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan.''

Ketika ajaran Sun menjadi ilmu para saudagar, citra manipulasi menguat. Kendati menempati posisi ekonomi dan politik yang kuat, saudagar tetaplah sasaran kecurigaan. Mereka dianggap hanya sosok-sosok serakah yang gemar menikmati kemewahan dan biasa mendekati kekuasaan ''istana'' demi keuntungan yang lebih besar. Dalam masyarakat agraris, saudagar adalah rekan sempurna kerakusan pemerintah. Mereka adalah pasangan penjepit nasib kaum tani.

Namun, ajaran Sun kian mendapatkan bukti dalam pergaulan politik internasional. Mobilitas vertikal masyarakat Asia Tenggara pascakolonialisme, misalnya, adalah perjalanan berliku para saudagar tanpa pertempuran langsung. Keunggulan Singapura, kepesatan Malaysia, adalah contoh besar strategi berkelit dari pertempuran frontal.

Kita tidak pada posisi seperti mereka. Kita lebih gemar berkelahi secara berhadapan langsung dengan ''penuh kegagahan''. Kita kemudian terpaku saat para saudagar Singapura dengan pintarnya memperdagangkan kedaulatan politik kita dengan kepentingan militer. Lahirlah DCA sebagai kesepakatan barter yang menunjukkan kemenangan cara Sun Tzu ala mereka.

Singapura tak perlu melontarkan satu peluru pun untuk dapat menguasai sebagian wilayah kita di Baturaja, Kepulauan Natuna, dan Anambas. Mereka dengan telak memenangi peperangan tanpa pertempuran. Kehalusan para saudagar pada akhirnya mengalahkan ketangguhan politik kita. Kita, dalam ibarat Sun Tsu, adalah ''bangsa yang letih karena dibuat berputar-putar dan bertengkar sendiri''.

Saat para saudagar serumpun berkumpul di Aceh pekan ini, agaknya kita bisa mulai belajar memahami Sun. Bukan pada inti pengelabuan, tapi pada kesediaan untuk berkelit dari pertempuran. Lebih dari cukup waktu kita tersita selama ini untuk pertarungan kata-kata dan senjata, di antara kita sendiri. Pertarungan yang acap tak lagi mengenal etika -- bahkan kabar burung pernikahan yang disembunyikan pun menjadi senjata. kalyara@yahoo.com
(Arys Hilman


0 Comments:

Post a Comment

<< Home